MANAJEMEN ORGANISASI PUBLIK

MANAJEMEN ORGANISASI PUBLIK

Oleh: Afrizal Woyla Saputra Zaini

Berbicara tentang organisasi, pada hakekatkan dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu organisasi public dan organisasi bisnis. Bembedaan tersebut secara umum didasarkan pada empat hal: pertama, tejuan (antara laba dajn  nor laba); kedua, peruduk yang dihasilkan (antara public goods dan privat goods); ketiga, cara pengambilan keputusan (antara proses demokrasi/birokrasi dan proses strategi bisnis); dan keempat, ukuran kenerja (antara social walfare dan evesiensi). Kendati demikian, dewasa ini perbedaan antara organisasi publik dan organisasi bisnis cenderung semakin kabur, khususnya setelah munculnya gagasan-gagasan baru untuk mengadopsi cara kerja organisasi bisnis kepada organisasi publik. Tujuannya adalah untuk memperbaiki keneja organisasi publik yang dipandang tidak efesien, lambat, birokratis, dan tidak berorentasi pada penggunaan.

Upaya memperbaiki kenerja organisasi publik dipelopori oleh paradigma NPM (New Public Management), yang secara bersemangat ingin memberontak badan-badan pemerintahan menjadi seperti perusahaan swasta. Kendati hasil-hasil nyata dari pemikiran NPM telah terlihat dalam berbagai kasus, akan tetapi keritik terhadap pendekatan ini cukup tajam. Sejumlah ahli administrasi berpendapat bahwa organisasi publik memiliki ciri-ciri dan tugas-tugas yang berbeda daripada organisasi bisnis, sehingga tidak mungkin untuk mencangkokkan ide-ide bisnis kedalam tubuh pemerintahan tanpa menyeleksi terlebih dahulu. Keritik ini menghasilkan pandangan baru, yakni public service (NPS), yang terutama menekankan kepada jenis-jenis layanan publik yang sensitif seperti pendidikan, kesehatan, transportasi publik, dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa disini bahan-bahan pemerintahan memiliki peran dan tugas yang berbeda, sehingga cara pandang dalam memperbaiki kenerjanya pun mungkin tidak bisa disamakan dengan organisasi bisnis.

Berdasarkan urayan singkat diatas dan mencermati karakteristiknya maka organisasi sosial dan  LSM masuk dalam kategori organisasi publik sehingga paradikma yang digunakan dalam mengelolah organisasi tersebut masuk dalam ranah adeministersi publik. Namun dengan gejala yang muncul selama dekade terakhir ini, dimana untuk meningkatkan kenerja organisasi publik didorong untuk mengadopsi model-mo0del yang ada pada organisasi bisnis (NPM) maka konsep-konsep adeministrasi bisnis dalam tingkat tertentu dapat diterapkan pada organisasi publik.

 

Kenerja Organisasi

Tujuan utama penguatan organisasi dan managemen adalan untuk meningkatkan keneja organisasi bersangkutan. Karena itu sebelum masuk ke subtansi pengetahuan terlebih  dahulu perlu penyamaan peresepsi terhadap konsep kenerja organisasi. Pendekatan pertama menekankan bahwa suatu organisasi dikatakan efektif apabila ia mampu mewujutkan tujuan-tujuan dengan baik. Ini merupakan pendekatan paling sederhana, sebagaimana dikenal secara luas oleh masyarakat umum. Dengan kata lain, di sini ukurannya hanya pencapaian hasil (ends). Sebaliknya, sistem pendekatan yang lebih organisasi untuk memperoleh input-input, memperoses input-input tersebut, menyalurkan output, dan sekaligus mempertahankan stabilitas dan keseimbangan didalam sistem (organisasi).

Kemudian, muncul pendekatan lain yang lebih koprehensif, yakni strategic constituency. Pendekatan ini mendefinisikan bahwa efektivitas organisasi adalah kemampuan untuk memuaskan tuntutan-tuntutan dari konstituen (atau dapat disebut juga stakehorder), yaitu berbagai pihak yang strategis menentukan kelansungan organisasi, dan secara keseluruhan perlu diperlikan tuntutan-tuntutannya kendati tidak jarang tuntutan-tuntutan tersebut berlawanan satu sama lain. Minsalnya, memiliki konstituensi strategis seperti penyandang dana, masyarakat, pemerintahan dan para peserta itu sendiri. Efektifitas organisasi, menurut pendekatan ini dengan sebaik-baiknya.

Pendekatan terakhir, yakni competing values, mengembangkan lebih lanjut pemikiran strategic constituency dengan menambahkan bahwa setiap organisasi pada dasarnya harus memiliki tentang titik berat ukuran efektivitasnya. Melalui sintesa terhadap ukuran –ukuran efektifitas yang ada, pendekatan ini mungkin ada empat pendekatan efektivitas, yang masing-masing dapat disesuikan dengan organisasi, tergantung kepada organisasi itu sendiri dan posisinya dalam life-cycle (apakah organisasi itu baru didirikan, organisasi sedang tumbuh, organisasi yang lebih matang, atau organisasi yang sedang dalam fase kemunduran). Lebih jauh lagi, titik berat efektifitas organisasi menurut pendekatan ini hendak disesuakan dengan prevensi konstituen atau stakeholder-nya.

Berdasarkan empat paradigma tersebut, strategic constituency model lebih cocok bagi organisasi publik. Mengapa bukan model keempat (competing value)? Pada model ini, organisasi perlu menentukan proritas berdasarkan prefensi strategis sesuai dengan tahapan kehidupan organisasi.

 

Determinan Kenerja Organisasi

Dalam literatur organisasi, ada tuju elemen yang menentukan kenerja organisasi, yaitu strategi, struktur, sistem, kepemimpinan, tata nilai, keterampilan dan moral staff. Tiga elemen pertama disebut sebagai elemen keras sedangkan ke empat lainnya disebut sebagai elemen lunak. Elemen keras memiliki karakteristik lebih mudah dikelolah dibandingkan dengan elemen lunak. Hal ini dapat dimaklumi mengingat elemen lunak bersentuhan dengan manusia dalam organisasi.

Strategi merupakan cara bagaimana mewujutkan tujuan berdasarkan visi organisasi. Mengingat dalam mewujutkan tujuannya, organisasi melibatkan anggotanya, maka hubungan antara mereka perlu diatur agar terjadi koordinasi yang baik dan bekerja secara efesien. Organisasi memerlukan sistem: kompensasi, rekrutmen, promosi peserta, penerimaan dan pengeluaran uang, dan lain-lain. Peran pemimpin sangat penting bagi kelansungan hidup organisasi, karena ia bagaikan nakhoda kapal yang sangat menentukan bagaimana organisasi mencapai arah sasaran yang  ditentukan. Organisasi merupakan etnitas sosial dimana aktifitas kesehariaannya memerlukan tata nilai yang akan membentuk norma perilaku bagi para anggota. Peserta yang trampil (skill) dan memiliki dedikasi serta integritas yang tinggi sangat diperlukan agar organisasi dapat mewujutkan tujuan yang telah ditetapkan.

Ke tujuh elemen tersebut memiliki posisi dan peran yang sama dalam kehidupan organisasi serta saling terkait dan membentuk suatu kesatuan. Keselarasan antara ke tujuh elemen sangat diperlukan. Strategi yang diperlukan oleh organisasi harus didukung oleh struktur, sistem, gaya kepemimpinan, tata nilai dan staff yang cocok.

Dengan demikian penguatan organisasi dan manajemen yang dimaksut untuk meningkatkan  kenerja organisasi seyokyanya meliputi tujuh elemen tersebut. Namun dengan mempertimbangkan waktu yang tersedia kita fokus pada tiga elemen: sistem, setruktur, dan kepemimpinan.

 

Manajemen organisasi

Jika kita memendang bahwa manajemen adalah suatu proses yang saling melengkapi, maka ke-empat tahap tersebut tentu saling terkat. Organisasi itu sendiri dapat dilihat sebagai agen dan/atau target dari proses manajemen, dalam arti wadah berlansungnya proses tersebut. Tetapi organisasi juga dapat dilihat sebagai efek dari proses tersebut (Gerloff, 1985:9). Hubungan timbal balik ini menjelaskan bahwa organisasi dan proses manajemen saling mempengaruhi, sebagaimana tampak yang sering kita dengar pada istilah POAC.

 

Struktur Organisasi

Model dasar organisasi berdasarkan karakteristik strukturalnya, dapat dikelompokkan secara sederhana menjadi tiga bentuk saja, yaitu organisasi mekanisasi, organik dan birokratik. Banyak aspek dari ketiga bentuk organisasi ini telah dibahas diatas.

Duatipe yang pertama, yaitu organik dan mekanistik, adalh saling berlawanan. Berdasarkan analistik lingkungan, tipe organik adalah sesuai untuk lingkungan yang tinggi kompleksitasnya dan relatif berubah-ubah secara cepat dan dinamis. Organisasi memiliki tipe struktur organik biasanya adalah untuk fleksibilitas dalam menanggapi lingkungan semacam itu. Ciri-cirinya adalah kompleksitas yang rendah (diferensiasi secara vertikal, horizontal, dan spasial berusaha untuk dikurang), formalisasi yang rendah (aturan-aturan, prosedur-prosedur, dan kebijakan-kebijakan diupayakan seminimal mungkin), dan sentralisasi yang juga rendah (wewenag pengambilan keputusan diusahakan didelegasikan sebanyak mungkin kepada level bawah). Organisasi mekanistik adalah sebaliknya.

Jadi, tinggi dan rendahnya kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi berlaku ketika kita membandingkan organisasi dengan ukuran yang lebih-kurang sama. Secara absolut, organisasi organik yang memiliki ukuran besar barangkali terlihat lebih kompleks daripada organisasi mekanistik yang berukuran kecil. Formalisasi dan sentralisasinya barangkali juga lebih tinggi. Namun apabila dibandingkan dengan organisasi yang seukuran, barulah terlihat ciri-cirinya sebagai organisasi organik. Ini harus diperhatikan sekali, agar kita tidak rancu ketika membedakan ketiga tipe di atas untuk organisasi-oganisasi yang riil.

Organisasi memiliki banyak kemiripan dengan organisasi mekanistik. Dimensi kompleksitas dan formalisasinya sama-sama tinggi, sehingga kadang-kadang kita bisa rancu membedakan kedua tipe ini. Kompeleksitas dan formalisasinya adalah dua dimensi yang relatif paling mudah terlihat dalam suatu organisasi (selain ukuran organisasi). Padahal pembeda kedua tipe struktur ini adalah pada sentralisasi. Sementara itu, sentralisasi lebih sulit diamati, karena kita harus mengamati cukup mendalam mengenai suatu organisasi utuk bisa menilai sejauh mana pengambilan keputusan didalamnya tersentralisasi. Itulah sebabnya, dalam kehidupan sehari-hari kita mungkin terkecoh mengenai tipe struktur suatu organisasi. Kita menduga organisasi itu mekanistik, ternyata birokratik. Untuk menghindari hal itu, kita cukup mengingat bahwa organisasi birokratik dicirikan oleh desentralisasi wewenang pengambilan keputusan, sementara organisasi mekanistik dicirikan oleh sentralisasi.

Dari tiga model tersebut, manakah yang cocok untuk organisasi publik? Mencermati karakteristik organisasi dari sisi stekholders dan dinamikan lingkungannya, model organik lebih cocok dibandingkan dua model yang lain. Dengan demikian, bagi organisasi-organisasi ini tidak diperlukan diinternalnya aturan yang ketat dan perosedur yang kaku. Pengambilan keputusan perlu didelegasikan sampai ke lefel yang paling bawah (desentralisasi keputusan).

 

Kepemimpinan

Pemimpin formal di dalam organisasi barang kali memiliki otoritas, tetapi belum tentu memiliki kekuasaan. Kita bisa menyebutnya sebagai pemimpin yang lemah atau pemimpin yang tidak efektif. Jadi, permasalahanya adalah, hal-hal apa yang seseoranga menjadi pemimpin yang efektif dalam organisasi? Dengan kata lain, bagaimana agar kekuasasan yang dimiliki seseorang seimbang dengan otoritas yang dipegangnya?

 

Syarat-Sarat Pemimpin Efektif

 

Sumber: gareth R. Jones (2007), Intruduction to Business: How  Companies Creates Velue for People, New     York: MC-Graw Hill, hal 189.

 

Jika kita melihat karakteristik pemimpin itu sendiri, maka teori-teori psikologis biasanya dapat memberikan cirri-ciri atau syarat-syarat personal pemimpin yang efektif. Artinya, agar mampu menjalankan otoritas secara efektif, seorang pemimpin memerlukan kekuasaan yang bersumber dari aspek formal, maupun ciri-ciri personal. Sekedar contoh, menurut jones (2007:188-90), seorang pemimpin yang efektif membutuhkan lima persyaratan sebagai berikut, yaitu: (1) energi/ daya juang, semangat, dan dorongan untuk maju (need for achivement); (2) rasa percaya diri, dan kontrol diri yang tinggi (internal locus of control): (3) intuisi, kecerdasan dan kemampuan koknitif; (4) kecerdasan emosi dan kemampuan berempati; dan (5) etika dan integritas moral yang baik.

Di dalam organisasi, biasanya bentuk-bentuk kekuasaan yang koersif cenderung tidak efektif bagi seorang pemimpin. Lazimnya, pemimpin organisasi yang baik akan menghindari penggunaan kekuasaan koersif cara terakhir apabila cara-cara lain tidak dimungkinkan. Penggunaan cara-cara kekuasaan koersif dalam organisasi cenderung akan mengikis legitimasi otoritas itu sendiri. Atasan atau pemimpin yang merasa bahwa dirinya lemah dan tidak mengacukan mereka, cenderung menggunakan bentuk-bantu kekuasaan yang menghukum (punishing).

 

Jika kita memahami teori kontigensi, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pemimpin yang efektif adalah tergantung kepada bawahannya. Didalam hal ini, seorang pemimpin harus menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan karaktristik dan kesiapan bawahann. Untuk kondisi bawahan Mau dan Tahu, pemimpin dapat memberikan kebebasa seluas-luasnya asalkan tujuan yang ditetapkan organisasi tercapai (gaya achievement-oriented). Untuk kondisi Mau tapi Tidak Tahu, pemimpin perlu terlibat dalam mengajari dan memberikan dukungan moral  (gaya suportif). Untuk kondisi pengikut Tidak Mau tapi Tahu, pemimpin harus melibatkan mereka agar lebih berperan (gaya partisipatif). Sedangkan kondisi terburuk, bahwa yang Tidak Mau dan Tidak Tahu, mau tidak mau pemimpin terpaksa menggunakan kontrol dan perintah (gaya direktif)

Tinggalkan komentar