AGAMA VS KONDOM

Tue, Dec 1st 2009, 09:47

Refleksi Hari HIV/AIDS

Agama vs Kondom

HARI HIV/AIDS sedunia yang diperingati 1 Desember 2009 ini, apa yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan generasi muda Aceh? Cukupkah dengan membagi-bagikan kondom gratis kepada remaja dan anak sekolah seperti dilakukan di Jayapura ibu kota Papua? Saya pastikan, masyarakat Aceh yang notabene muslim, tidak sepakat dengan kebijakan itu.

Aceh berbeda dengan Papua, Bali dan kota-kota metropolis lainnya di Indonesia, terutama dalam aspek agama dan sosial-budaya. Mungkin kita sepemahaman jika kondom bukan solusi untuk mencegah masyarakat dari penularan HIV/AIDS. Maka untuk mencegah wabah penyakit akibat amoral yang kini marak di kalangan kaulamuda Aceh, tidak dengan model kampanye sambil bagi-bagi kondom. Sebab tanpa menimbulkan AIDS pun, prilaku seks bebas itu haram dilakukan, baik dari pandangan adat-istiadat budaya Aceh, apalagi pandangan agama (Islam).

Memang di Aceh, penderita AIDS belum begitu mewabah dan baru ditemukan beberapa kasus. Namun, apakah kita harus berdiam diri, menunggu AIDS sampai mewabah di daerah ini? Agaknya ini penting direnung orang Aceh dalam moment peringatan Hari HIV/AIDS sedunia tahun 2009 ini.

Seperti kata ahli, bahwa HIV bisa saja terjangkit dari beragam cara. Namun penyebab umum yang mudah dikontrol, seperti melalui hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, pelacuran (prostitusi), penggunaan jarum suntik yang tidak steril, dan kontak badan penderita atau menggunakan sesuatu yang dipakai penderita. Penyebab lainnya bisa lewat garis keturunan yang kebetulan mengandung HIV.

Pengenalan jalan penyebaran AIDS semacam itu bisa menjadi panduan perioritas bagi generasi muda, karena mereka termasuk kalangan yang paling rawan terserang AIDS. Pertama, generasi muda sedang berada pada fase klimak mencari indentitas atau sebagai masa transisi. Kedua, mereka senang mencoba hala-hal baru atau mencari sensasi. Ketiga, vitalitas yang sedang menuju puncak, sehingga apa pun gampang diterima.

Keempat, mobilitas dan aktivitas yang tergolong sangat tinggi, atraktif dan dinamis. Inilah yang membuat interaksi dengan dunia luar (selain lingkungan keluarga) terbuka lebar tanpa terbendung. Kelima, mereka menguasai beragam fasilitas modern berupa perangkat teknologi informasi dan komunikasi.

Selamatkan generasi Aceh
Sejumlah alasan tersebut sudah cukup untuk berupaya menyelamatkan generasi Aceh agar menghindari dari terjangkitnya penyakit HIV/AIDS yang mematikan itu. Ini penting mengingat akhir-akhir perkembangan prilaku remaja atau orang Aceh semakin liar, bahkan cenderung merusak tatanan budaya dan agama. Narkoba, seks bebas mulai marak, dan itu jalan awal bagi generasi Aceh menuju lorong hitam. Ini harus diantisipasi. Solusi terbaik adalah pemahamn agama (Islam) dan kekukuhan terhadap adat dan budaya Aceh.

Hanya ini yang bisa menjadi benteng moral. Ironinya, aspek agama dan adat sekarang justru diabaikan. Ajaran secara tegas menyatakan zina itu adalah haram. Bahkan untuk mendekatinya dilarang, seperti lewat pacaran, apalagi kalau sudah menjurus free sex. Begitu juga khamar (minuman yang memabukkan) dan sejenisnya dan perbuatan lain yang cenderung merusak akal dan jiwa, keturunan, tubuh dan harta.

Dalam kontek itu semua elemen, terutama orangtua harus terlibat aktif melakukan pemberantasan jaringan terhadap prilaku yang bisa menjadi biang terjangkit HIV/AIDS. Upaya aparat Polisi menangkap para pengedar, pemakai ganja, narkoba dan sabu-sabu selama ini, perlu di-blow up masyarakat Aceh. Tidak cukup hanya diserahkan kepada lembaga terkait seperti BNP (Badan Narkotika Provinsi), kepolisian yang saat ini ditangani badan khusus Direktorat Narkoba Polda Aceh.

Tampaknya, Aceh perlu ada qanun narkoba. Tentu ini harus mendapat dukungan penuh semua lapisan masyarakat melalui pagar budaya yang kuat dan ketaatan kepada norma agama yang memadai.
Pagar budaya Aceh semakin melemah perannya saat ini. Masyarakat cenderung semakin ogah dan permisif serta merasa tidak berhak menegur bila melihat ketimpangan perilaku sosial yang kontraproduktif dengan budaya Aceh dan agama. Misal, ketika mengamati tanggungjawab pemilik rumah kontrakan di seputar kota Banda Aceh. Umumnya, mereka tidak mau tahu siapa yang mengontrak rumahnya, untuk tujuan apa rumah itu dikontrak, dan bagaimana rumah kontrakannya itu digunakan. Apakah kemudian ternyata rumah itu telah digunakan sebagai tempat “pelacuran terhormat” ala mahasiswa, penjualan ganja, narkoba dan sabu-sabu, atau lokasi perjudian dan penadahan barang curian>

Pemilik rumah tidak mau tahu, yang penting setoran bulanan atau tahunan lunas; tidak menunggak habis perkara. Secara individu saja sudah demikian parah kondisi tanggungjawab moral masyarakat dalam beramal makruf dan bernahi munkar. Bayangkan saja bagaimana keadaan tanggungjawab yang dipikul aparatur perangkat gampoeng. Mungkin kondisinya seperti kata endatu; lagei adoe ngen aduen, sigeutu sahoe chiet (tidak ada perbedaan berarti, sama persis).

Saat ini masyarakat atau orang Aceh, masing-masing “lepas tangan” terhadap benteng moral ini. Suatu yang tragis sedang berlaku di Aceh. Kita sibuk beragama dengan sebatas simbol-simbol, tapi nihil dalam pengamalan. Kita biarkan khasanah budaya Aceh menjadi tercerabut dari akarnya. Negeri ini seakan tanpa pengawala, aparatur gampong yang menjadi pagar sudah semakin rapuh di Aceh. Inilah yang harus dikuatkan kembali.

Sementara dalam ruang lingkup kedaerahan, peran aktif pemerintah Aceh, dalam hal ini aparat penegak hukum lebih intens memerangi dan memberantas benih-benih dan potensi berkembangnya HIV di tengah masyarakat Aceh. Kita mesti dukung aparat untuk menggulung sindikat pengedar narkotika dengan mengendus mereka ke berbagai tempat-tempat strategis seperti tempat hiburan, hotel dan penginapan, objek wisata, termasuk institusi pendidikan.

Rekor aparat kepolisian Polda Aceh yang menggagalkan pelbagai penyeludupan narkotika dari dan ke Aceh harus diapresiasi. Kerja ekstra Polisi perlu didukung masyarakat, termasuk para guru di sekolah membimbing anak-anak Aceh, agar tidak menjadi rusak dan kehilangan masa depan mereka.

* Penulis adalah dosen pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry.

http://m.serambinews.com/news/view/18872/agama-vs-kondom

Tinggalkan komentar